penulis | : | Dimas Joko |
dibuat | : | Monday, 21 March 2016 11:29 pm |
diubah | : | 2 tahun yang lalu |
vote cerita | : |
Pada dini hari menjelang Subuh, ketika barisan demi barisan tentara dari markas RPKAD Kartosuro menggeledah rumah-rumah penduduk dari desa ke desa, kehidupan Kromo Soekarto sekeluarga berubah seluruhnya.
Tak semua rumah dikepung dan pintunya digedor-gedor. Hanya sebagian saja. Para tentara itu melompat turun dari truk-truk besar dan menghentak tanah pedesaan yang basah dibasuh embun bersama derap sepatu laras mereka. Daun pintu yang diketuk dengan popor senapan, teriakan-teriakan lantang bernada mengancam, dan wajah-wajah bengis nan dingin adalah racikan teror sempurna bagi seisi dusun.
Setiap kali jari telunjuk beberapa orang menuding, tubuh-tubuh para penghuni rumah akan meringkuk gemetaran. Lalu, saat ayah, suami, atau anak lelaki digelandang paksa menuju truk, suara isak dan rintihan mulai berbisik.
Hari-hari berikutnya tak lagi sama.
Suasana tintrim yang menegangkan berjangkit dan mewabah di mana-mana.
Bersama belasan pria lainnya, Kromo Soekarto dijebloskan ke dalam penjara rahasia di wilayah Wonogiri. Mereka harus membiasakan diri tidur berjejal-jejalan di dalam sel dingin yang pengap. Atapnya terlalu rendah sehingga berdiri sambil membungkuk pun sudah kesulitan.
Satu persatu, tahanan politik, sebuah gelar baru yang ditahbiskan di pundak pria-pria malang itu, jatuh bergelimpangan. Jika bukan digerogoti bermacam penyakit, mereka lebih suka mengakhiri hidup setiap kali kesempatan itu datang. Jasad mereka jarang dikuburkan. Kecuali bila mereka sudah menggali cerukan tanah terlebih dahulu.
Bahkan, acapkali pusara-pusara tanpa nisan itu ditinggalkan begitu saja usai penghuninya jatuh tersungkur diterjang timah panas.
Setahun lebih, lelaki, yang kerap dipanggil Mbah Bayan itu, bertahan di balik jeruji. Seminggu sekali, bersama tahanan lainnya dia digiring ke pinggir Bengawan Solo untuk membersihkan diri. Sebuah ritual rutin yang sangat mereka takuti.
Saat sepucuk nama dikumandangkan, tubuh-tubuh yang duduk berjongkok itu semakin dalam melipat tengkuk.
Entahlah.
Mereka, khususnya yang belum pernah dipanggil, tak tahu obrolan di depan bangku di tepi kali terpanjang di Pulau Jawa itu. Sama sekali. Mereka terlalu sibuk berdoa.
Tatkala revolver menyalak, sebuah raga terguling ditikam pelot membara. Sekerat nyawa mereka terbang mengirap sayap dan tersesat di belantara antah-berantah. Air sungai perlahan-lahan memerah.
Awal tahun 1966, menyaksikan mayat-mayat terapung timbul-tenggelam di Bengawan Solo adalah sebuah kelaziman.
Bagaimana kisah hidup Kromo Soekarto sekeluarga?
Mari, silakan mencicipi sajian cerita sederhana ini.
Salam pena.
dj
Untuk melaporkan cerita ini kamu harus masuk dulu.
|
Gatot Susanto
![]() Saya suka tema ini. Semoga lancar menulisnya…baca juga cerita saya ya mas…Clara, Help Me! Sy baru coba coba menulis novel April 19, 2017, 9:54 am
Jeni Fitriasha
![]() Saya suka, tapi menulis mengenai ini agak sensitif ya untuk saat-saat ini. Salam June 4, 2016, 4:48 pm
|
Anda harus masuk untuk meninggalkan komentar